Oleh Jon 666
Terusan rumusan lima lagu Karinding Attack yang akan dimainkan di Festival Gamelan Yogyakarta,
GERBANG KERAJAAN SERIGALA
“Gerbang Kerajaan Serigala” adalah salah satu lagu yang pertama kali diciptakan Karat namun menjadi lagu yang terkahir selesai digarap. Musiknya diciptakan Man, liriknya ditulis Kimung. Secara musikal, lagu ini mempresentasikan sebuah komposisi karinding yang solid dan brpotensi menjadi pakem baru di ranah musik karinding. Duet permainan Wisnu dan Ki Amenk sangat pas dan membuat lagu ini begitu berwarna dalam aura kelamnya.
Lirik lagu ini ditulis Kimung dalam waktu sepuluh menit dengan begitu banyak pengaruh. Yang paling nyata adalah pengaruh grup musik metal Swedia, Entombed, yang juga memiliki lagu bertema serigala, “Wolverine Blues” dan sejak rilis tahun 1993 segera menjadi influens utama para pionir Ujungberung Rebels.
Ini lagu yang penuh dengan absurdits. Tentang kerajaan serigala dengan langit sekelam tembaga dan darah yang membusuk di ufuk barat, wadam-wadam telanjang yang melolong-lolong memuja kabut , anjing dan setan yang menghirup nanah dalam ritual yang mengorbankan kita yang terikat dengan lidah terjulur, kaki dan tangan terpasak di tanah basah, pemujaan terhadap raja serigala, tumbuhnya rasa liar melalui taring, liur, wajah masai berjumbai, belati tajam, tombak, dan parang yang hitam meradang, khusus dipersembahkan bagi raja serigala.
Di panggung, lagu ini sering dikonotasikan ganda. Kadang merujuk pada kondisi kacau negeri ini karena ulah aparat dan pemimpinya yang gila puja dan penuh syahwat. Kadang merujuk pada kondisi semangat yang ditunjukkan oleh komunitas karinidng dan Karinding Attack sendiri dalam membangun lagu. Imej serigala—binatang favorit Kimung—lalu dijadikan imej album Karinidng Attack.
LAPAR MA!
Lagu ini liriknya ditulis Man dan musiknya tercatat di jurnal diselesai di Common Room tanggal 21 Januari 2010. Mengisahkan mengenai rakyat kecil yang terbiasa hidup susah, bisa makan pagi, tak bisa makan sorenya, bisa makan malam, baru bisa makan siang hari keesokan harinya. Ini adalah rintihan rakyat kecil yang terbiasa dalam kemiskinan namun terus berdendang menghibur diri karena hidup bagi mereka adalah bekerja dan berkarya.
Melalui “Lapar Ma!” Karat kembali menegaskan penghormatan paling tingi kepada sosok Ibu karena mereka lah yang semenjak awal memberikan hidup dan kehdupan bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Ibu lah yang kita tuju ketika kita sedang lapar dan haus akan makanan, perhatian, kasih saying; dan sampai kapan pun oleh kapan pun ia tak akan tergantikan. Karenanya Karat terus menghimbau kepada para audiens untuk senantiasa menghormati ibu—dan tentu saja juga ayah—sepanjang hayat, sejauh tarikan napas.
Yang menarik, diakhir lagu, man memotret berbagai makanan jajanan khas rakyat kecil yang sering mereka nikmati sehari-hari. Beberapa makanan yang disebutkan adalah nasi timbel, gepuk, emping, sambel tomat, tahu, goreng asin, colenak, kiripik lada, gehu, combro, misro, cilok, cireng , dan di akhir lagu Karat sengaja seperti menampar pendengar : bahwa bagi mereka yang tak punya uang itu semua Cuma hayalan dan yang bisa dilakukan hanyalah cingogo sambil berak buang kotoran—yang tak ada karena memang tidak makan apa-apa.
YARO – MAAF !
Lagu ini ditulis Kimung ketika dinamika karinding semakin menunjukkan grafik naik dan komunitas ini mulai diperhitungkan oleh beberapa kelompok masyarakat, termasuk yang berasal dari ranah politik. Sebetulnya, tahun 2009 atau 2010, secara jumlah massa, ranah musik karinidng bisa dibilang masih jauh sekali dari angka yang signifikan. Mungkin bisa dikatakan hanya berjumlah 500an orang saja yang bergelut secara serius mengembangkan musik karinding. Namun citra karinding sebagai seni buhun yang hampir punah—sebuah citra yang terus dibangun aktivis budaya Bandung mengenai karinding—berhasil menggiring perhatian orang untuk melirik ranah sosial karinding. tentu akan menjadi sebuah kabar yang seksi jika kemudian kelompok-kelompok masyarakat itu terkesan ikut serta ‘peduli’ melestarikan seni Sunda buhun yang hampir punah, mendukung berbagai upaya yang dilakukan para aktivis karinding betulan dalam melestarikan dan mengembangkan seni karinidng. Ini akan menambah citra yang bagus bagi mereka—para kelompok itu—yang pada gilirannya akan berimbas baik untuk mereka. Mereka akan dianggaps ebagai pahlawan. Mereka akan mendapat banyak pujian dari masyarakat. Mereka akan mudah mendapat uang dari pemeritah atau LSM asing. Mereka akan mudah menggalang simpati massa—khususnya untuk kelompok politik—yang pada gilirannya memuluskan jalan mereka meraih kekuasaan.
Lagu ini menceritakan hubungan Karat dengan beberapa kelompok masyarakat di ranah politik yang merapat ke markas Karat. Mereka menghitung kekuatan, menimbang, memilah, dan memilih, meriset dan memetakan jaringan kekuatan di ranah seni karinding, dan menyimpulkan jika simpul terkuat dan terdepan jika kita bicara mengenai pelestarian dan pengembangan seni karinding tahun 2009 dan 2010 tentu saja adalah Karat. Agresivitas Karat dalam mengembangkan teknik permainan dan musikalitas seni karinding, latar belakang para personil Karat yang mayoritas sudah berkecimpung di ranah musik independen lebih dari 20 tahun, serta massa yang berada di belakang mereka—baik massa death metal, hardcore, punk, sampai massa kelompok kampung adat dan kasundaan, tentu saja menjadi perhitungan mereka.
Lagu ini diciptakan sebagai pagar untuk para personil Karat agar senantiasa terjaga dan tidak tergoda dengan bujuk rayu para politisi itu. Personil Karat—terutama mereka yang kental dengan nuansa penokohan oleh massa yang selama ini selalu mendukung aktivitasnya atau yang memiliki banyak penggemar—memang patut diakui sempat gamang dan tergoda. Dan untuk itulah lagu ini diciptakan. Agar semua sadar diri, kembali ke khitah musisi sebagai pencipta musik, bukan aktivis atau penggerak massa. Tujuan utama musisi adalah menciptakan musik sebagus mungkin karena jika kita sudah menciptakan musik yang bagus, di sanalah nila pergerakan sosial yang sebenarnya. Apresiasi, inspirasi, hingga komitmen menyelamtkan wajah insdustri musik yang buruk di tanah air harus menjadi proorotas utama. Masyarakat sudah sedemikian lama dininabobokan oleh musik-musik yang buruk, stereotip, dan iti-itu saja di televisi. Masyarakat dibodohi industry dan diberikan kesan, ‘ini loh musik yang bagus’, ‘ini loh musik yang kamu banget’ ketika mereka sudah kehilangan jati diri sendiri—sudah hidup sebagai idol—bukan sebagai individu. Tentu saja mengisi botol yang kosong lebih mudah dari pada mengisi botol yang isi. Dan yang terpenting di sini adlaah apa lalu yang akan kita isikan ke dalam ‘botol kosong’ adik-adik kita? Apakah racun, sirup, wiski, tahi, kencing kuda, air kopi, atau apa? Mari musisi membuat karya yang sebagus mungkin karena ketika kita memberikan yang terbaik untuk adik-adik, saat itulah kita secara aktif sedang membangun suatu generasi yang lebih bermutu dan berkepribadian.
Karat tidak membenci aktivisme dan justru melebur di dalamnya. Mayoritas kawan-kawan kami, baik di kampus mau pun di jalanan, adalah aktivis, bahkan tahun 1998 saya terpaksa terseret ikut ke dalam pusaran aktivisme ketika melihat kawan perempuan saya babak belur bedarah-darah digebuki polisi di jalan Jatinangor dalam demo penggulingan kekuasaan Orde Baru. Kami juga kenal beberapa aktivis top 1998 yang kini setelah menjadi anggota dewan, tanggal semua cakar dan taringnya menjadi sebentuk macan yang ompong. Mereka yang dulu beringas, tak kenal ampun, dan tak kenal kompromi, melembek dan menahi ketika berhadapan dengan segelintir sistem politik nyata yang kotor dan kental dengan nuansa permainan uang, kuasa, dan berahi. Sekali lagi kami tak benci aktivisme. Kami hanya benci musisi yang lupa akan tugasnya menciptakan musik yang bagus hanya karena mereka terlalu aktif mengurusi hal di luar musik. Lagi pua, berbeda dengan pemandangan pergaulan anggota dewan dan politisi yang mirip badut koplo di Indonesia, kami melihat pergaulan musisi yang menjaga kualitas musiknya, sebanding dan sejalan dengan komitmen massanya untuk terus bergerak dan melakukan perubahan.
Dengan begitu banyak hal yang ingin saya sampaikan di lagu ini, kami sebetulnya hanya menekankan satu baris lirik yang lugas dan jelas : MAAP KAMI TIDAK TERTARIK PADA POLITIK KEKUASAAN!
NU NGORA NU NYEKEL KONTROL
Lagu ini saya dedikasikan kepada Bandung Death Metal Syndicate, salah satu sayap pergerakan Ujungberung Rebels yang paling baru. Berdiri tahun 2005, sindikat ini sudah sukses menggelar empat kali festival musik death metal paling bergengsi, Bandung Death Fest, dan kini menaungi dan menghubungkan lebih dari 160 band death metal yang tersebar di Bandung dan sekitarnya. Bandung Death Metal Syndicate juga yang pertama kali menyebarkan kesadaran akan lokalitas Kasundaan dan salah satunya mengkristal pada berdirinya Karinding Attack. Yang paling penting, walau tetap digawangi para senior seperti Man, Ki Amenk, dan Okid, Bandung Death Metal Syndicate diwarnai sekaligus mewarnai wajah-wajah muda ranah musik death metal. Kepada wajah-wajah inilah “Nu Ngora Nu Nyekel Kontrol” dipersembahkan.
Lagu ini saya singkat jadi N4C, atau sering dilafalkan menjadi Enforce—kekuatan. Sejak awal dibuat, seperti wajah judul, lagu ini harus memiliki totalitas dan kekuatan. Tak ada pilihan bagi saya selain membuat aransemen musik yang geber buat lagu ini. Ini lagu anak muda dan sejauh ingatan saya, anak muda memainkan musik sekencang dan sebising mungkin.
Lirik lagu ini sengaja saya mulai dari refrain untuk menghimpun energi bersama yang seterusnya akan melatari semangat lagu. Teriakan, “Nu ngora nu nyekel, kontrol!” merupakan penggugah kepada semua anak muda di seluruh dunia untuk bangun dan sadar jika kini waktunya sudah dekat untuk berada di depan membuat karya bagi orang banyak. Ini kemudian diperkuat dengan dua baris verse pertama, “Hayu maju dulur-dulur, nu ngora nu nyekel kontrol!” Ini mengacu pada ajakan kepada anak-anak muda yang berderap ini untuk terus di depan. Dunia, Indonesia, dan Bandung hari ini sedang krisis figur manusia yang berhasrat dan berkehendak untuk kuasa. Kuasa atas diri mereka sendiri, kuasa untuk kemajuan bersama.
Figur-figur pemimpin yang ada ketika lagu ini saya tulis adalah figur para penguasa yang korup, pemimpin yang tidak gamang dan tegas, para aktivis yang setengah-setengah, penegak hukum yang mandul, politikus dan wakil rakyat yang moralitasnya rendah, terlibat skandal seks, korupsi, permainan hukum, pemimpin yang mengijinkan penghancuran tempat-tempat bersejarah di kota, pengusaha yang membabat ribuan hektar hutan; sementara para budayawannya asyik sendiri dalam kebagawanannya, para sejarawan gagal menentukan siapa itu pahlawan, siapa itu penjilat, para pemikirnya hanya menghasilkan retorika di atas kerta, tak pernah nyata di lapangan.
tulah kenapa saya menulis, “Nu lila beuki paciweuh, tuur paketrok ngomong balelol!” Awalnya saya mau menuliskan “Nu kolot” tapi sejauh pergaulan saya, ‘kolot-kolot- yang berada di antara saya bukanlah kolot-kolot yang saya maksud di baris terakhir verse awal lagu ini. Mereka adalah kolot-kolot yang tetap berani, mangprang, dan terus secara cepat dan simultan melakukan berbagai inovasi dalam hidup mereka yang juga merubah wajah masyarakat. Saya sangat menghormati mereka, sehingga kata ‘kolot’ saya ganti menjadi ‘lila’. Yang saya benci bukan umurnya, tapi daya juang mereka yang mengendor. Saya kira orang tua yang tetap memiliki semangat juang kencang, ribuan kali lebih baik dari pada anak muda ngoyo dan ngowo. Ini saya perkuat dengan refrain, “Nu ngora nu nyekel kontrol!”
Lirik “Pageuh panceg jadi paseuk, keupeul rapet tujuk ka langit” adalah bahasa simbolis harapan saya kepada anak-anak muda. Sebagai mahluk-mahluk berhati baja dengan daging-daging yang meliat, sudah sewajarnya jika anak muda juga kuat secara intelektualitas, matang secara pikiran, perkataan, dan perbuatan sehingga bisa menguatkan segenap keyakinan ketika semua ada di jalanan. Frasa “pageuh panceg jadi paseuk” terinspirasi dari salah satu peribahasa, ‘hidup bagaikan roda. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah.’ Tentu saya juga menghargai peribahasa ini. Namun saya kira adalah hal yang bodoh jika kita lagi dan lagi ada di bawah. Seharusnya kita bisa belajar sesuatu ketika kita sedang ada di bawah sehingga kita tak akan kembali mengulang sesuatu yang kan menyebabkan kita kembali ke bawah. Hanya keledai yang mengulangi kesalahan yang sama dua kali dan pengibaratan ‘hidup adalah roda’ tentu saja menegaskan keluguan manusia. Manusia yang berhasrat tak akan mau terus menerus mengulang hal yang sama, apa lagi ratusan, ribuan kali. Ia akan belajar untuk lepas dari lingkaran setan dan mengambil alih peran menjadi porosnya. Poros akan diam stabil di tempatnya. Dengan memahami posisi poros, kita akan yakin bahwa yang penting di sini bukanlah di mana posisi kita berada, tapi sejauh apa hal terbaik yang kita lakukan untuk berada di posisi tersebut. Bagaimanakah membangun keyakinan terbaik kita agar yakin dan sadar untuk melepaskan diri dari peran sebagai roda dan beralih menjadi poros sebuah roda : adalah dengan mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke langit. Lalu hajarlah jalanan!
Frasa lirik “Wani raheut hajar jalanan” adalah karya nyata yang dibagun dari semangat di atas. Saya dan kawan-kawan Ujungberung Rebels lahir dan tumbuh di jalanan. Semangat inilah yang terus membuat kita hidup dan memiliki hasrat hidup yang terus menggebu. Di jalanan, nothing to lose. Ini membuka visi dan persepsi kita ke dimensi yang luas dalam memandang hidup : “Dada lapang, ucap lantang” Dalam keluasan, kejernihan pikiran akan tercipta. Dari kerja yang iklas, akan membangun suara yakin yang akan membangunkan para anak muda : “Nu ngora nu nyekel kontrol!”
Di refrain ke dua ini saya kembali ingin menegaskan bahwa selama ini, yang memperngaruhi perjalanan kehidupan masyarakat Kota Bandung dan Indonesia adalah para anak mudanya. Di Bandung, misalnya, industri kreatif yang kini berkembang dan semakin bersinergi digawangi oleh anak muda. Tokoh-tokoh muda muncul dan wajah-wajah baru mendominasi di hampir semua lini intelektualitas dan lingkar pragmatis kota, dari seniman, budayawan, pemerintah, politikus, polisi dan tentara, sosialita, awak media, hingga rakyat kebanyakan yang terserak : semua wajah-wajah muda. Wajah dunia kini semakin segar.
Repertoar melodi untuk lagu ini saya kira butuh sesuatu yang bising dan bertenaga. Toleat dengan cara tiup terompet di nada-nada provokatif berpola pendek dan yang repetitif saya kira merupakan aransemen yang pas untuk mendukung chaos semangat muda yang telah terbangun. Empat kali putaran lead toleat, saya kita bisa bernyanyi bersama dalam frasa yang mudah diikuti audiens, “Hidup budak ngora!!!”
Semua rumusan ini tersedia dalam narasi yang lebih panjang, kompleks, memuat proses kreatif penciptaannya yang lebih lengkap. Tunggu rilisannya oleh Kimung!
27 Juni, Rabu,
Kimung bertemu Ariel untuk mengambil komentarnya atas buku Ujungberung Rebels, Panceg Dina Galur. Karena kesibukan, Ariel mengutarakan komentarnya secara lisan, disertai beberapa pertanyaan lainnya berkaitan tentang sejarah Indonesia, sejarah Ujungberung Rebels, dan karinding. Berikut adalah wawancara Ariel, dilakukan di Jalan Belimbing 1 Bandung, simaklah,
Tetang ketertarikan Ariel kepada sejarah,
Sangat tertarik sama sejarah. Dari mulai SMP, SMA kalau pas lagi pelajaran sejarah lebih banyak mendengarkan dari pada pelajaran lainnya. Menyenangkan mengetahui apa yang terjadi sebelum kita. Dari kita lahir, kita tahu tentang kita, kaluarga, negara. Kita juga tau kenapa negara itu terbentuk, kenapa kita lahir, manusia-manusia sebelum kita, itu menarik. Ditambah lagi kalau ada peradaban-peradaban yang udah ngga ada. Memang tidak semisterius masa depan, tapi masa lalu, sejarah, sama menariknya dengan masa depan. Yang paling menarik adalah sejarah manusia itu panjang, apa yang mereka lakukan pertama kali, sampai sejarah penyebaran manusia, saya kira itu sangat menarik.
Karya sejarah yang dibaca dari dulu sampai sekarang,
Dari dulu saya belajar pelajaran sejarah Indonesia, saya tertarik peperangan jaman Medieval, mundur lagi ke masa-masa sebelumnya. Dari poin satu pengen tau poin dua, poin tiga, dan seterusnya. Tapi kadang-kadang saya mulai dari perang dunia, lalu saya penasaran dan mencari buku-buku yang saya baca tentang bangsa-bangsa. Misalnya kalau saya baca tentang Hitler yang sangat mengagungkan bangsa Aria, saya lalu nyari lagi buku-buku tentang bangsa Aria.
Buku-buku yang menggugah,
Sekarang ini yang menggugah justru sejarah bangsa sendiri. Kalau dulu sering baca sejarah Eropa, Yunani, dan sebagainya, tapi mulai kemarin-kemarin saya mulai baca Seokarno, sejarah bangsa Indonesia pertama kali, pahlawan-pahlawan yang ikut memperjuangkan kemerdekaan. Buku-buku itu sangat berkesan.
Saya ga teralu banyak baca buku sejarah musisi. Kalau musisi karena eranya sudah ke sini, mereka punya catatan sejarah yang beda, bukan cuma di buku, kebanyakan di video dan lain-lain. Paling sejarah Kurt Cobain yang memang saya minati dan ingin saya tahu lebih mendalam saja. Pola penulisan sangat ragam, tapi tetap tujuannya sama, menceritakan tentang orang itu.
Pentingkah penulisan sejarah,
Penting! Walau katanya sejarah itu banyak yang nggak bener isinya, banyak yang ditulis dengan tujuan-tujuan tertentu, tapi minimal ada pegangan. Orang dulu bilang pengalaman itu adalah pelajaran yang paling berharga. Nah sejarah itu isinya pengalaman, walau bukan pengalaman kita sendiri, tapi kita bisa belajar dari pengalaman orang lain yang ditulis. Apa lagi pengalaman yang ratusan tahun yang lalu. Jadi tak ada alas an untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Itu cuma satu faktor, faktor lain menghargai apa yang sudah dilakukan orang-orang sebelum kita. Kaya belajar sejarah bangsa Indonesia, kita lihat apa yang dilakin sama pahlawan-pahlawan dulu dan akhrnya kita bisa menghargai apa yang mereka lakukan, dan akhirna kita bisa mengharga mereka telah melakukan ini dan kita membangun bangsa ini meneruskan perjuangan mereka. Kalau kita ngga tahu, kita juga ngga bakalan tahu mau ngapain di Indonesia ini. Kalau kita tahu apa yang sudah terjadi tentang bagaimana terbentuknya negara ini, kiita pasti bisa lebih menghargai bangsa ini.
Tentang Ujungberung Rebels,
Saya malah lebih tahu Burgerkillnya hahahaha sejauh ini saya baca dari buku, sejarahnya, legendanya. Yang terjadi di Ujungberung Rebels adalah fenomena yang terjadi di Bandung secara keseluruhan. Dari dulu Bandung makmur akan karya, pemikirannya maju, iklimnya bagus, banyak sekolah. Yang terjadi dalam pergerakan Ujungberung Rebels, walau tradisional namun pemikirannya maju. Bandung yang tergambar di Indonesia mungkin bisa terikoni melalui pergerakan musik yang ada di Ujungberung.
Pentingkah penulisan sejarah Ujungberung Rebels?
Ngga ada yang ngga penting. Apa pun yang bisa ditulis pasti penting. Penulisannya sendiri sudah sangat penting tapi yang lebh penting lagi adalah bagaimana semua orang bisa membaca itu. Itu bisa jadi motivasi buat yang lain-lain. Kalau menurut saya satu kota ini perlu tahu bahwa pemikiran orang-orang yang ada di Bandung ini sudah maju. Jangan sampai kaya orang pada umumnya, atau kelas A, B yang melihat komuntas ini adalah para berandalan, segala macam. Kalau mereka sudah melihat melalui buku, mereka bisa tahu bahwa musisi di Bandung itu pinter-pinter. Ini bisa merubah beberapa persepsi bahwa nggak selamanya rebel itu tak terarah. Ini bukan rebel tanpa alasan, ini rebel dengan alasan”.
Bagaimana dengan karinding,
Ini takdir hahaha begitu mulai membaca buku sejarah Indonesia, jiwa nasionalisme saya jadi tumbuh. Yang tadinya saya selalu mengacu pada “Barat”, termasuk dalam musik, tapi dengan masuknya rasa nasionalisme dalam diri setelah membaca buku-buku ini jadi ke sana arah pikirnya. Kebetulan waktu itu dibawain karinidng, alat musik budaya bangsa kita yang belum banyak orang tahu. Menurut saya lebih keren karinding dari apa yang di Eropa. Dari sanalah ketertarikan ini muncul. Membangun rasa nasioalisme melalui buku-buku sejarah,.di saat yang sama ada alat musik yang sudah tua sekali di sini yang dekat dengan saya. Ini harus di budidayakan.
Cara pengembangan karinding,
Ada banyak cara. Salah satunya mungkin yang kemarin dilakukan Peterpan sama Karinding Attack. Bisa disebutkan, Peterpan sudah di zona mainstream, banyak didengar kebanyakan orang, ada di jalur pop. Sedangkan karinding sendiri, alat musik tradisional dan jarang sekali didengar. Salah satu caranya dengan mengawinkan itu.
Cara lain, kalau kita bisa promosikan itu keluar, itu lebih bagus. Kalau di Indonesia mungkin Peterpan yang kuat memperkenalkan itu ke masyarakat luas, tapi kalau ke luar, karinding sendiri pasti yang akan lebih kuat. Tetangga saya di Jakarta, dia punya restoran di London. Pada saat rilis album “Suara Lainnya” keluar dia memperkenalkan itu di sana. Bule-bule itu pada suka. Mereka tidak butuh another Coldplay di Eropa, sudah sehari-hari musik kaya gitu, sudah bosen. Tapi mereka suka album itu. Setiap hari lagu-lagunya diputar. Dan yang mereka paling suka adalah lagu “Sahabat” which is yang Karinding Attack featuring Peterpan, yang ke dua “Di Belakangku” yang which is ada saluang di dalamnya. Mereka bilang memang lebih suka yang eksotis kaya gini. Suara bambu segala macem. Cara-caranya harus terus dicari. Yang pasti ini sangat dihargai oleh orang-orang di luar.
Harapan buat karinding dan penulisan sejarah di Indonesia dan komunitas,
Buat karinding mudah-mudahan ada yang bisa kita lakuin lagi, kalau bisa sama Peterpan hayu, atau mudah-mudahan ada yang lain-lain uga yang tertarik untuk mengembangkan itu lagi.
Buat sejarah, sudah saatnya buku-buku sejarah dirapikan. Mulai banyak fakta yang lebih diungkap dalam buku-buku sejarah. Begitu sudah dirapikan tinggal programnya bagaimana agar orang baca, gimana caranya. Penting ini. Mundah-mudahan mereka baca, tumbuh nasionalisme,d an membangun bangsa ini bukan mengeruk bangsa ini. Peterpan juga lagi bikin buku. Tujuannya sama memberikan pelajara dan dokumentasi dan berbagi pengalaman terutama buat yang mau bikin band baru.
Malam harinya Man mengabarkan jika Karinding Attack terlibat dalam opera “Si Kabayan Jadi Presiden” garapan Didi Petet dan Butet Kertarejasa di Taman Ismail Marzuki bersama Hari Pochank, Rumah Musik Harry Roesli, dan lain-lain. Hari Jum’at, Man akan rapat bersama para pendukung opera “Si Kabayan Jadi Presiden”.
28 Juni, Kamis,
Bersiap untu bermian musik bersama Slamet Gundono dan Wayang Suketnya. Sebelumnya Karat mencari ragam informasi mengenai Slamet Gundono dari internet. Berikut adalah profil seniman kita ini, didapat dari website Taman ismail Marzuki,
Slamet Gundono (lahir di Slawi, Tegal, 19 Juni 1966; umur 46 tahun) adalah dalang wayang suket (wayang rumput) dan seniman Indonesia. Ia lahir dari keluarga dalang ini bernama asli Gundono; nama Slamet ditambahkan oleh guru sekolah dasarnya. Awalnya ia tidak mau meneruskan jejak ayahnya, karena citra negatif dalang yang lekat dengan minuman keras dan main perempuan. Akan tetapi, selama mondok di sebuah pesantren di Lebaksiu, rasa tertariknya pada wayang semakin menguat.
Setamat pesantren, ia melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teater di Institut Kesenian Jakarta. Namun, kemudian ia pindah ke Jurusan Pedalangan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (kini Institut Seni Indonesia Surakarta). Dan pada tahun 1997, ia menyelenggarakan pertunjukan pertamanya di Riau, di mana pada saat itu ia menyuguhkan pertunjukan wayang dari rumput (bahasa Jawa: wayang suket) untuk pertama kalinya.
Slamet Gundono lulus dari STSI pada tahun 1999. Pada tahun itu, ia mendirikan komunitas Sanggar Wayang Suket. Di sana, ia mengembangkan lebih jauh seni pewayangan, dengan memperkenalkan wayang dari bahan rumput dan menyajikan pertunjukan wayang yang keluar dari pakem yang telah baku. Karena itulah, meskipun awalnya banyak diprotes, dalang berbobot 150 kilogram ini menjadi ikon wayang suket. Ia telah menerima sejumlah penghargaan, seperti Penghargaan Prins Claus pada tahun 2005. Saat ini, Slamet Gundono bermukim di Jl. Sibela Timur III No. 1 Mojosongo, Jebres, Surakarta.
Gundono menulis sejumlah naskah teater wayang orang, seperti Sukesi atau Rahwana Lahir, Limbuk Ingin Merdeka, dan Bibir Merah Banowati. Slamet Gundono, harus diakui sebagai dalang muda yang kreatif. Sebagai pengagum Ki Nartosabdho (alm), ia ingin menjadi dalang wayang kulit yang bergaya klasik. Kemampuan dan karakter vokalnya cukup bagus, bahkan bisa disebut reinkarnasinya Ki Narto. Soal olah gerak boneka wayang alias sabet juga standar.
Hanya, dia kalah dalam persaingan antar-dalang. Lobi dan jaringan dengan konsumen dan broker sudah dikuasai dalang-dalang mainstream, yaitu Ki Manteb Sudharsono dan Ki Anom Suroto untuk gaya Surakarta dan Ki Hadi Sugito untuk gaya Yogyakarta. Karena itulah, ia mengembangkan gaya pertunjukan sendiri, seperti wayang suket yang boneka wayangnya terbuat dari rumput atau wayang gremeng yang dimainkan tanpa boneka wayang kulit. Nyatanya, dia sukses dengan hasil eksplorasi kreatifnya. Baik ditilik secara eksistensialis maupun dari sudut pandang ekonomis.
Slamet Gundono adalah dalang yang sering disebut-sebut mbeling. Ia adalah dalang yang cerdas, yang tidak tunduk pada aturan baku, juga tidak mendek karena keterbatasan peralatan dan persyaratan dalam mendalang. Lakon dan jalan cerita yang dimainkan, pada pertunjukan merupakan gubahan dari fiksi yang dipadukan dengan fakta, sehingga dalam lakon terdapat pembaruan. Cerita tidak mengalami stagnasi.
Boneka wayang yang dibuat dari kulit, yang biasa digunakan untuk pertunjukan wayang kulit, di tangan Slamet Gundono bisa diubah dengan apa saja. Pertunjukan wayang seperti itu, tentu saja sudah sangat menjauh dari pakem pertunjukan wayang kulit konvensional. Jika pertunjukan Slamet Gundono harus diberi istilah, dengan pertunjukan teater wayang. Dikatakan teater, karena pertunjukan ini juga melibatkan aktor-aktor lain yang bermain di panggung, dan dalam beberapa adegan para aktor itu berinteraksi dengan wayang yang dimainkan Slamet.
Garibaba’s Strange World (2009)
Pertunjukan gado-gado seperti itu sudah merebak di Tanah Air. Banyak yang melakukannya. Namun, ada satu kekuatan yang dimiliki Slamet dan kawan-kawannya sehingga pertunjukannya tetap memikat dan enak ditonton. Setidaknya ada empat unsur yang menjadi kekuatan dalam pertunjukan Slamet. Pertama, Slamet Gundono selalu memasukan unsur humor namun tidak dengan maksud melawak.
Kedua, sebagaimana layaknya dalang konvensional yang pandai menembang, Slamet Gundono yang setiap kali pentas selalu ditemani ukulele, pandai menembang dengan suara yang merdu. Kepandaiannya ini membuat narasi yang disampaikan, jadi lebih memikat, dengan tingkat penghayatan yang tepat. Ketiga, sekalipun lakon yang dibawakan bernuansa surealis, namun alur cerita yang dibangun masih ada benang merahnya, sehingga penonton dapat mengikuti jalan cerita yang dibentangkan.
Keempat, Slamet selalu mengusahakan pertunjukannya berlangsung secara komunikatif. Ada interaksi antara pemain dengan penonton seperti yang terdapat dalam pertunjukkan teater tradisional, misalnya Lenong, Longser, Ludruk, Ketoprak, Makyong.
Setelah merilis buku pertamanya, Presiden Bunuh Rakyat, beberapa tahun lalu, Slamet Gundono juga meluncurkan buku Pertanyaanku tuk Air, Antologi Pertanyaan Puitik Dalang Suket tanggal 8 Oktober 2011 di Stasiun Solo Sangkrah. Buku setebal 100 halaman ini berisi 70 teks Slamet Gundono seputar politik, cinta hingga kesetiaan yang dibalut dalam pertanyaannya kepada air. “Ketika saya bertanya kepada air, bisa jadi saya bertanya kepada diri sendiri. Bisa jadi pula saya memang bertanya kepadanya. Tidak ada batasan dalam karya ini.”
Diungkapkan Slamet Gundono, ketertartikannya kepada air berawal dari perasaannya yang menganggap air selalu hadir dalam setiap perjalanan hidupnya. “Lebih dari sekadar kebutuhan hidup seperti mandi dan minum, bagi saya air sangat mewarnai hidup dan pendewasaan diri selama ini,” katanya.
Di setiap lokasi yang ia tinggali, Slamet Gundono selalu dihadapkan persoalan tentang air. Saat tinggal di Kentingan semasa mahasiswa, ia menjadi salah satu saksi dahsyatnya banjir akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo. Saat tinggal di Ngringo dan Jomboran, Slamet Gundono bahkan menghadapi persoalan air lebih besar berupa polusi. “Sampai di tempat tinggal yang terakhir ini, Mojosongo, masih saja saya diingatkan ihwal eksistensi air lewat penjual air keliling yang setiap pagi selalu menyapa di depan rumah. Bagi saya, air sudah seperti makhluk hidup yang selalu mengajak berkomunikasi,” tuturnya.
Ditambahkan Slamet, buku yang diterbitkannya secara independen itu bisa didapatkan di sejumlah komunitas seni di Solo. Ia mengaku belum menentukan banderol harga buku tersebut. “Yang jelas, buku ini tidak profit oriented. Mungkin nanti harganya bisa bervariasi, tergantung siapa pembelinya. Kalau memang tak punya uang dan ingin membaca, bisa saja kami gratiskan,” ucap dia.
Untuk kali pertama, pihaknya akan mencetak sekitar 300 eksemplar buku. Di samping buku, Slamet Gundono akan mengemas antologinya dalam format CD. “Dalam format ini, kemasannya akan lebih musikal. Saya berencana menggunakan alat musik gesek seperti cello dan rebab untuk latar lagu,” pungkasnya.
29 Juni, Jumat,
Hari yang mendebarkan. Jam satu siang saya sudah tiba di teater terbuka Dago Tea House. Saya langsung emrapat ke sudut Dago Tea House di mana kelompok musik galengan sedang berlatih. Hebat sekali mereka! Saya adalah pengagum utama mereka! Saya juga dibuat takjub dengan gitar dan bass bamboo yang dibuat si abah Galengan sehingga saya berhasrat memesan satu buah bass bamboo buatannya. Tak lama, saya bertemu kawan ketika di Purnawarman, Yoppie, vokalis band Once, yang kini ternyata menjadi pengurus Dago Tea House.
Tak lama makan siang dating dari Toko You dan saya makan siang barena Pak Endo Suanda, Slamet Gundono, dan kawan-kawan karat yang lain. Kita sempat berbincang mengenai berbagai hal, juga mengenai adab-adab mengolah makanan bersama pemilik Toko You.
Usai makan, semua berkumpul di sudut tempat Galengan berlatih untuk latihan musik bersama. Konsepnya adalah memainkan sepenggal terakhir nada sintren Cirebon yang bercerita mengenai kearifan lokal, gugahan kesadaran untuk memperhatikan alam, hubungan manusia dengan manusia, serta manusia dengan tuhan. Di tengah latihan, Bintang dari Jendela Ide ikut bergabung memainkan gendang kendi dan jimbe. Usai latihan, alat segera ditata di panggung dengan arahan Uwox, dilanjut dengan cek tata suara hingga menjelang jam delapan malam.
Jam delapan malam, semua berkumpul sekali lagi untuk melakukan persiapan terakhir sebelum akhirnya semua masuk panggung disusul oleh tepuk tangan audiens. Slamet menyapa semua auudiens melalui satu nomor ciptaannya berjudul “Air”. Satu aransemen yang kocak namun penuh dengan visi dan sisi kontemplatif. Salmet memainkannya dengan gambus bamboo buatan Pak Endo Suanda.
Usai itu, giliran Wayang Suket tampil duluan menamilkan dua komposisi yang sangat apik. Galengan kemudian tampil menampilkan dua komposisi usi instrumenal dan disusul oleh Karat yang tampil memainkan dua lagu “Burial Buncelik” dan “Maap!” Pertunjukan langsung disambung dengan kolaborasi tiga band plus Bintang dari Jendela Ide.
Musik yang dihasilkan mengalir seperti air. Konsep saling mengisi dan battle terangkum dalam jams ession dua puluh menitan itu hingga akhirnya semua mencapai satu titik di mana kolaborasi harus usai. Beberapa bagian ada yang lepas karena perbedaan tingat rasa dalam mengolah dan mengalunkan musik namun semua dengan cepat kembali ke jalurnya masing-masing. Semua mempersilahkan setiap instrumen untuk bersuara secara independen, lalu bersuara dalam rumpul teknik permainannya sebelum akhirnya semua lebur bersama seluruh instrumen yang dimainkan bersama.
Benar-benar sebuah pertunjukan yang spektakuler!
10 Playlist Jon 666 : Tarawangsa, The Beatles, Eddie Vedder, Slamet Gundono dan Wayang Suket, Peterpan, Time Bomb Blues, The S.I.G.I.T, Janis Joplin, The Black Sabbath, Deep Purple
Books : Al Qur’an al Karim
Movies :